Rabu, 10 Oktober 2012

LIPSTIK




* * * L I P S T I K * * *
By Priska Devina


Saya berdiri di depan cermin,
merapikan make up.
Bedak, sisir, pemerah pipi, eye shadow, lipstik, sikat alis, dkk, bertebaran di meja terdekat.

Anak saya, Sekar, berdiri di samping, ikut ikutan emaknya.
Kami sedang bersiap-siap mau menonton pertunjukan musikal anak Bawang Merah Bawang Putih.

Tiba tiba ia berujar, "Mami, itu apa?"
Lalu dalam sekejap, tanpa sempat saya cegah, sebuah benda kecil berbentuk selonsongan perak yang ada di dekat saya, berpindah ke tangan mungilnya.

Oooh NO..!!
Itu lipstikku..!
Seri Lancome keluaran terbaru yg saya beli di Mal Taman Anggrek.
Lipstik yg saya timbang timbang,
saya sayang sayang, yg akhirnya jadi saya beli setelah bolak balik dua kali ke stand Lancome, karena ragu ragu, mau beli atau ngak ya itu lipstik.
Soalnya lumayan mahal buat ukuran saya.
Harganya 350rb.
Aaarhh....!

Jadinya, begitu melihat benda mungil tersebut di tangan Sekar, dgn refleks nada tinggi dua oktaf, saya berteriak,
"Sekar! Itu lipstik baru Mami!"

Karena kaget, hampir saja lipstik tersebut patah, karena pas saya menjerit, dia sedang mencoba mengoleskan lipstik tersebut ke bibirnya.

Saya melihat raut wajahnya yang berubah.
Dia diam mematung.
Keceriaannya hilang.
Tangannya masih memegang lipstik.

Perasaan saya campur aduk
Antara cemas dengan lipstik baru saya, perasaan mau marah, dan juga khawatir melihat perubahan wajahnya. Juga rasa berdosa telah membentaknya dengan super kencang.

Dalam sepersekian detik saya punya kesempatan untuk memilih reaksi saya.

Sebenarnya saya ingin marah padanya. Bagian anak kecil dalam diri saya yang egois, kesal karena 'mainan yang mahal' tersebut dikhawatirkan rusak.
Wong baru aja beli.
Masih ada sisa suara tinggi tersangkut di tenggorokan, berebut ingin ditumpahkan sebagai bentuk kekesalan.

Tapi sebelum itu berlanjut, tiba tiba, sekilas, saya teringat pada cerita seorang sahabat baik saya yg juga terapis anak.

Beberapa tahun yang lalu, sahabat saya menaruh sebuah speaker untuk dijadikan sound system ke tv.
Tata, anaknya yang saat itu masih kecil dan penuh keingintahuan, mendekati speaker tersebut.
Tanpa sengaja, speaker tersebut jatuh dan prak...!! ada secuil bagian yang terpisah terserak di lantai.

Secara refleks,
ia juga berteriak pada anaknya ,
"Liatlah! Pecah ini !!"

Setelah beberapa saat, ia diam, dan melihat anaknya juga diam.
Tidak berani mendekatinya.
Menangispun tidak.
Segera ia sadar saat itu.
Ia bentangkan tangannya lebar lebar dengan perasaan menyesal, lalu mendekap anaknya.
Dalam hatinya ia menangis, eh bukan, dia menangis beneran.

Dia bercerita pada saya, ia menyesal, mengapa sampai berkata sekeras itu.

Inilah nasehat emasnya untuk saya, "Speaker akan tiba waktunya untuk tua dan rusak, tapi anak ....
tidak ternilai harganya..... "

Ia memeluk anaknya yang meminta maaf padanya.
Dia jawab, "Tidak apa apa Nak.
Maafin Papa. Papa yg seharusnya tidak boleh berkata seperti itu dan salah Papa sendiri taruhnya disitu.
Papa maafin Tata dan Tata maafin Papa ya. Speaker ini tidak ada artinya. Karena Tata jauh jauh lebih berharga dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun....."

Akhirnya...
Inilah yang saya lakukan kepada Sekar:
Saya jongkok, tinggi saya sama dengan tinggi badannya, mata saya sejajar dengan matanya, saya bentangkan tangan saya dan merengkuh tubuh kecil di depan saya, dan berkata,
"Mami minta maaf ya Sayang.
Maaf, tadi mami teriak. Kamu kaget ya. Mami juga kaget, karena itu lisptiknya baru beli. Mahal sekali lagi. Mami takut rusak.
Tapi kamu jauh lebih berharga daripada lipstik itu.
Mami minta maaf ya Sekar.
Lipstik mami bisa beli lagi. Tapi Sekar tidak ternilai harganya....."

Dalam hati saya sungguh menyesal telah membentaknya.
Saya berdoa, semua bentakan saya tidak jadi luka batin untuknya.

Di kelas hypnotherapy, kami belajar,
pada saat seorang anak terkejut atau sedang pada kondisi emosi yang tinggi, kata-kata apapun yang ditujukan padanya, akan langsung masuk ke bawah sadarnya.

Jika saat marah, orang tua berteriak keras, "Bodoh kamu!"
Maka anak akan merasa ia bodoh, sampai ia dewasa kelak.
Apakah ini yang kita inginkan...?

Banyak sekali cerita tentang orang dewasa yang tidak berani bicara di depan umum, orang yang selalu merasa bodoh, orang yang merasa dirinya tidak berguna, orang yang merasa dirinya jelek, orang yang ini takut - itu takut, dll, bermula dari 'stempel' yang tidak sengaja (atau sengaja) diberikan oleh orang orang terdekat pada seorang anak.

Kemarahan sering membuat katup mulut kita lebih longgar, sehingga kata kata meluncur tanpa ada saringan.

Sampai hari ini, peristiwa lipstik tersebut selalu jadi pengingat buat saya untuk mengerem teriakan dan jeritan saya, setiap kali tensi saya sedang tinggi di kala bersama anak.

Luv you, my precious Princess...
Still, Mami say sorry ya, dear....

Salam,
Priska DH

Nb:
Terima kasih pada sahabat saya, Sjam, yang telah berbagi cerita pada saya....

5 Okt 2012, Serpong

*********************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar